Non-Muslim Indonesia Menikmati Kebebasan Luar Biasa!
Hidayatullah.com--Kasus HKBP Bekasi beberapa waktu lalu benar-benar mendapat keprihatinan dari banyak pihak. Menurut Ardiansyah SH MA MH, kasus itu terjadi karena tidak adanya sikap dalam mentaati peraturan yang berlaku. Ketidaktaatan inilah yang memicu timbulnya konflik (pertikaian).
Berikut wawancara hidayatullah.com dengan pengamat hukum yang kini sedang menyelesaikan Program Doktor Bidang kajian Hukum Konstitusi dan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Kebangsaaan Malaysia (UKM) itu.
Dari aspek hukum, apa pandangan terkait kasus HKBP Bekasi?
Kasus HKBP harus dilihat dari dua hal. Pertama, adanya korban penusukan. Penusukan itu berarti tindak pidana. Penyelesaiannya dengan cara menangkap pelaku dan memproses pelakunya secara hukum.
Kedua, ada praktik keagamaan yang dilakukan penganut agama tertentu yang tidak mengacu peraturan yang berlaku. Memang, negara ini menjamin kebebasan beragama dan menjamin kebebasan beribadah.
Untuk mengawal kebebasan beribadah maka perlu dibuat peraturan bersama antarpemeluk agama. Keluarnya SKB 2 Menteri (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan No 9 Tahun 2006) bertujuan untuk menjaga kerukunan umat beragama.
Dengan keluarnya peraturan tersebut maka setiap warga negara Indonesia, dalam hal ini para pemeluk agama wajib terikat dan mentaati peraturan tersebut.
Dalam kasus HKBP, akibat adanya praktik keagamaan (ritual) yang dilakukan penganut agama tertentu tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku maka di sinilah awal munculnya masalah.
Kasus HKBP itu tidak bisa dilihat dari aspek SKB 2 Menteri, tidak bisa pula dilihat dari aspek penusukan (tindak pidana), akan tetapi harus dilihat dari aspek adanya sekelompok penganut agama tertentu yang tidak mentaati peraturan yang berlaku. Ketidak-taatan inilah yang memicu timbulnya konflik (pertikaian). Kasus HKBP sejalan dengan kaedah kausalitas. Tidak akan mungkin muncul akibat, tanpa adanya sebab.
Bagaimana solusi terbaik agar kasus serupa tidak terulang?
SKB 2 Menteri merupakan dasar kebijakan bersama antarpara tokoh berbagai agama yang difasilitasi oleh pemerintah. Peraturan ini dirumuskan bersama-sama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan para tokoh agama.
Dengan logika sederhana, jika peraturan yang telah disepakati itu ditaati maka tentu tidak akan memunculkan masalah. Sebaliknya, jika peraturan yang telah disepakati itu dilanggar maka tentu akan memunculkan masalah.
Insiden Ciketing (Bekasi) terjadi karena jemaah HKBP tidak mentaati peraturan tersebut. Mereka bukannya mentaati peraturan untuk mencegah terjadinya konflik antarumat berbeda agama tersebut, malah tokoh HKBP dan para pendukungnya berulangkali melanggar bahkan mewacanakan pencabutan SKB 2 Menteri yang mensyaratkan pendirian tempat ibadah harus disertai dengan persetujuan 90 orang yang akan beribadah dan 60 warga sekitar, dengan memanipulasi data persetujuan sehingga menimbulkan keresahan sehingga berbuah konflik. Oleh karena itu, agar kasus serupa tidak terulang maka tokoh agama harus mentaati peraturan ini.
Bagaimana analisa hukum kemungkinan ditingkatkannya status SKB menjadi Undang-Undang?
Mungkin saja status SKB meningkat menjadi Undang-Undang. Namun, upaya peningkatan status SKB menjadi Undang-Undang bukanlah perkara mudah. Akan banyak pernyataan ketidaksetujuan dari berbagai tokoh agama, kelompok liberal, pegiat HAM, bahkan intervensi asing.
Untuk meningkatkan status tersebut tentu melalui peran pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama. Pemerintah melalui Menteri Agama bisa merancang atau menyusun draft RUU.
Selanjutnya draft RUU diserahkan kepada legislatif (DPR RI). Tentu ada pembahasan yang alot diantara sesama anggota legislatif (DPR RI). Untuk mencapai kata sepakat (disahkan atau ditolak suatu RUU) maka bisa ditempuh dengan berbagai cara termasuk voting. Jika DPR RI sepakat dengan RUU maka disahkanlah RUU menjadi UU.
Langkah apa yang mesti dilakukan untuk mewujudkan Undang-Undang tersebut?
Untuk mewujudkan undang-undang memerlukan waktu yang panjang. Meskipun mayoritas parlemen dikuasai wakil rakyat yang beragama Islam. Tidak ada jaminan undang-undang tersebut akan terwujud.
Hal ini disebabkan Undang-Undang merupakan produk politik. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut tentu akan berjalan alot. Ada yang pro dan ada pula yang kontra.
Masih segar ingatan kita betapa alotnya pengesahan UU Pornografi. Untuk sampai pada tahap pengesahan UU Pornografi maka telah terjadi lima kali perubahan draft RUU Pornografi.
Awalnya Draft RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi, lalu berubah dengan hilangnya kata Anti Pornoaksi.
Peraturan perundangan di negara manapun selalu dibuat manusia dengan suatu mindset (pemikiran mendasar) di dalam benaknya. Pemikiran mendasar ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keyakinan (ideologi/agama), pengalaman, pengetahuan, literatur, dan kepentingan. Kepentingan ini pun bisa bermacam-macam: kepentingan pribadi, keluarga, kelompok atau partai, rakyat luar, atau kepentingan asing.
Dari semua faktor di atas, yang paling berbahaya adalah ketika kepentingan asing. Secara umum, ada lima metode intervensi asing. Pertama, intervensi G2G (Government to Government), yakni pemerintah asing langsung menekan pemerintah suatu negara.
Kedua, intervensi W2G (World to Government), yakni lembaga internasional (PBB, WTO, IMF) menekan suatu negara.
Ketiga, intervensi B2G (Business to Government), yakni dunia bisnis internasional maupun domestik menekan pemerintah agar meluluskan kepentingannya dalam undang-undang.
Keempat, intervensi N2G (Non Government Organization to Government), yakni LSM asing atau lokal menjadi kelompok penekan yang efektif terhadap eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kelima, intervensi I2G (Intelectual to Government), yakni kaum intelektual menekan pemerintah agar meloloskan suatu agenda dalam perundangannya.
Dari sisi politik hukum, sebenarnya apa yang sedang terjadi terkait kasus tersebut?
Politik determinan atas hukum. Politik dan kekuasaan sangat menentukan keberlakuan hukum. Menurut Mahfud MD, politik hukum harus diletakkan pada legal policy (kebijaksanaan hukum) pemerintah dalam bidang pembentukan hukum dan pelaksanaan hukum.
Sebenarnya, jika politik dan kekuasaan committed dalam penegakan hukum, maka seharusnya pemerintah tidak perlu merespon pernyataan berbagai kalangan seputar pencabutan SKB 2 Menteri. Sebaliknya, pemerintah harus konsisten mempertahankan SKB 2 Menteri, bahkan bila perlu meningkatkan statusnya menjadi undang-undang.
Menurut Anda, bagaimana sebenarnya toleransi umat beragama di Indonesia?
Indonesia merupakan negara yang sangat toleran terhadap non-Muslim. Kalau tidak toleran, mana mungkin non-Muslim berkembang seperti sekarang ini. Tengoklah di negara-negara Eropa dan Amerika yang mayoritas Kristen yang katanya paling demokratis dan menjunjung HAM. Kasus terbaru, rencana pendirian masjid saja di New York itu, bukan di Ground Zero.
Jaraknya pendirian masjid kira-kira sekitar satu kilometer dari Ground Zero. Itu saja sudah dipersoalkan. Jelas membuktikan ada hambatan dalam kebebasan beribadah. Di Prancis, ada undang-undang pelarangan mengenakan cadar. Cadar itu kan bagian dari kebebasan beribadah. Kalau masjid mungkin dianggap mengganggu, tapi apakah memakai cadar mengganggu? Itu tubuhnya sendiri dan pakaiannya sendiri.
Di Indonesia, warga non-Muslim itu betul-betul menikmati kebebasan luar biasa. Bahkan hampir-hampir tidak ada hambatan. Justru orang Islam di Indonesia, di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini, yang sering tertindas. Silakanlah lihat di Ambon, Bali, Papua, dan di wilayah-wilayah Indonesia lain yang Muslimnya minoritas, warga Muslim justru tertindas. [idris/cha/hidayatullah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar