Sabtu, 04 September 2010

HIV dan kemungkinan wanita baik-baik mengidapnya

Sekitar 88 persen kasus HIV/AIDS berasal dari kelompok usia produktif (20-49 tahun)

Orang sering berkesimpulan, wanita baik-baik, yang tak punya masa lalu buruk, tak mungkin tertulas virus HIV/AIDS. Siapa bilang?

Fakta menunjukkan, sejak 2007, ibu-ibu rumah tangga atau wanita baik-baik menjadi kalangan yang paling rentan tertular HIV/AIDS melalui hubungan seks dengan kekasihnya atau suaminya. Hal ini dikatakan Antis Naibaho SpSI, Manager Konselling HIV/AIDS RSU Pirngadi Medan.

 “Perempuan-perempuan baik-baik yang tertular HIV/AIDS dari para suami mereka yang pengidap dan dulunya mungkin pencandu atau pelaku seks bebas.”

Dikatakannya, berdasarkan persentase penularan HIV/AIDS melalui hubungan heteroseksual, mencapai 50,3 persen dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 3 : 1. Secara keseluruhan, sambungnya, berdasarkan Data Kemenkes, pada akhir 2009 jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia mencapai 19.973 jiwa dengan kecepatan penularan tercepat di kawasan Asia Tenggara.

Kemudian, berdasarkan laporan dari 32 provinsi di Indonesia, sekitar 88 persen kasus HIV/AIDS berasal dari kelompok usia produktif (20-49 tahun). “Kalau usia 20 dia sudah mengidap, berarti tertularnya dari lima tahun sebelumnya, 15-an," imbuhnya. Menurutnya, kasus penderita HIV AIDS di kalangan wanita meningkat drastis. Perilaku berisiko suami atau pasangan, merupakan penyebab utama penularan HIV di kalangan  wanita.

”Dari penelitian regional mengenai HIV AIDS di Asia, diketahui wanita merupakan orang dewasa yang paling rentan terkena HIV. Di Indonesia, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Departemen Kesehatan mengestimasi sekitar 300 ribu orang dewasa usia 15-49 tahun hidup dengan HIV pada 2009.  Peningkatan infeksi tertinggi pada perempuan,” tambah wanita lulusan sarjana psikologi di Kota Medan ini.

Penyebab makin banyaknya wanita terinfeksi HIV, lanjut dia, karena pasangan yang berperilaku berisiko tinggi. Pria pembeli seks dikenali sebagai kelompok populasi terinfeksi tertinggi. Padahal, kebanyakan mereka merencanakan menikah. Akibatnya, wanita yang dianggap berisiko rendah justru berisiko tinggi setelah melakukan hubungan seksual dengan suami atau pasangan. “Memperkuat hak azasi reproduksi wanita juga sebagai cara mencegah penularan virus mematikan tersebut,” tegas Antis lagi.

Tak hanya itu, lanjut Antis, budaya patriarki (posisi perempuan di bawah pria) yang kuat di negara-negara Asia menyebabkan tidak bisa didiskusikannya seks kepada pasangannya. “Terutama perempuan baik-baik kepada suaminya. Sehingga pembicaraan tentang penggunaan kondom pun sangat tabu. Makanya perempuan sering jadi korban seks laki-laki, termasuk para suami yang liar,” paparnya.

Resiko rentan wanita terinfeksi HIV/AIDS, karena organ tubuh perempuan yang sangat sensitif dan bentuk anatominya yang cenderung terbuka memudahkan bakteri berkembang di sana, apalagi ketika sedang berhubungan seks. “Hubungan seks yang dipaksakan juga lebih rentan untuk kena luka atau tergores di bagian kelaminnya perempuan. Dengan adanya luka akibat gesekan atau goresan itu kemudian bakteri atau virus mudah masuk ke dalam organ reproduksi itu bila melakukan seks dengan pria yang terinfeksi,” kata wanita beranak empat ini.

Berdasarkan pengalamannya sebagai Manager konselling di RSU Pirngadi Medan, ada beberapa wanita yang menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) terinfeksi HIV. Para TKI itu sering melakukan hubungan seks dengan pasangannya yang ternyata penderita HIV/AIDS. “Padahal si TKI itu bukan pemakai jarum suntik narkoba. Tapi malangnya, ia justru terinfeksi dari pasangannya yang pengguna jarum suntik narkoba dan pelaku seks bebas,” ungkapnya.



Antis menyarankan, sebelum menuju jenjang pernikahan (pra-nikah), hendaknya pasangan memeriksakan darahnya ke medis tidak untuk mengetahui tertular HIV/AIDS saja, tapi juga penyakit lain seperti hepatitis, kolestrol dan lainnya. “Ini demi masa depan anak nantinya. Memeriksakan darah itu penting karena badan bugar bukan jaminan tak ada penyakit,” kata Antis.

Bicara soal penularan HIV/AID, menurut Antis, selain dengan hubungan seks, penularannya juga bisa menular melalui jarum suntik yang telah dipakai oleh orang yang terkena HIV/AIDS, juga melalui  transfusi darah. Mereka yang menggunakan drug atau narkotik itu menjadi kelompok yang mudah terinfeksi oleh virus HIV karena penggunaan jarum suntik yang bergantian. Namun kalau jarum suntiknya itu tidak bergantian atau menggunakan jarum suntik baru, maka tidak dimungkinkan virus HIV/AIDS itu akan masuk dan menjalar pada seluruh tubuhnya.

Selain kelompok perempuan yang rentan terhadap virus HIV/AIDS, masyarakat kelas bawah juga lebih rawan terinfeksi. Misalnya ketika mereka mendapatkan pengobatan dari tempat pengobatan umum, biasanya ketika mereka harus mendapatkan suntikan maka pihak dokter menggunakan jarum suntik bekas, dan dengan jarum bekas tersebut mungkin saja itu bekas dipakai oleh orang yang terinfeksi virus HIV.

“Perlu diketahui bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui salaman, menggunakan WC bareng, menggunakan gelas bareng, keringat, juga bersinnya. Jadi virus HIV/AIDS hanya menular melalui jarum suntik bekas HIV/AIDS, hubungan seks dan transfusi darah,” pungkasnya. [jppn/hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar