Minggu, 23 Januari 2011

Pria barat lulusan Darul-Ulum Deoband


EMPAT puluh tahun setelah mengikuti petualangan sebagai seorang hippy ke Asia Selatan, John Butt masih tinggal di kawasan ini dan masih menyebarkan pesan perdamaian dan cinta, sekarang sebagai ulama Islam.

John kembali ke sebuah daerah di India yang penuh menara marmer. John Mohammed Butt tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
"Bisa Anda lihat?," tanyanya. "Ini seperti belajar Islam di Universitas Oxford. Bagi saya menara mesjid dan kubahnya seperti menara di Oxford,\" katanya.
"Sudah 30 tahun berlalu ketika saya terakhir berada di sini dan hati saya masih tergetar. Ini almamater saya," lanjutnya.
Yang disebut almamater itu tak lain adalah Darul-Ulum Deoband, pesantren terbesar di Asia Selatan.

Deoband didirikan tahun 1866 oleh Muslim India yang menentang kekuasaan Inggris. Tidak banyak yang berubah di daerah ini, jalan-jalan sempit, halaman yang kecil dipadati dengan penjual teh harum, nasi panas dan lukisan Mekkah.
Dimana-mana terlihat santri, para pemuda yang membawa buku atau diam-diam membaca al-Quran.
Dan juga pemandangan seperti di Oxford, para mahasiswa yang naik sepeda.
Seorang penjual teh wangi mengenal John dan bergegas kepadanya, "John Sahib, John Sahib"
John Butt satu-satunya orang Barat lulusan Darul-Ulum Deoband
Keduanya sudah beberapa dasawarsa tidak bertemu namun pria itu masih mengenalnya. "John Sahib satu-satunya santri yang saya lihat biasa jogging," katanya. 
"Hanya ada satu John Mohammed, unik, "lanjutnya.
Memang tidak mengherankan karena John Butt masih menjadi satu-satunya dan hanya orang Barat yang pernah lulus dari Deoband.
John menunjukkan ruangan di asrama tua, ruangan tanpa jendela dimana dia selama delapan tahun hidup seperti di pengasingan, shalat dan mempelajari al Quran.

Kagumi Quran


Namun ini hanya satu sisi dari kehidupan pria istimewa ini.


Disamping tinggal di Deoband, dia juga menghabiskan waktu dalam 40 tahun lalu tinggal diantara suku Pasthun yang mediami daerah tak bertuan antara Afghanistan dan Pakistan.


Dia datang ke sana tahun 1969, katanya, sebagai seorang hippy pengisap ganja dan tidak pernah pulang ke rumahnya.


"Ketika orang-orang memanggil saya, bekas hippy tua, saya selalu menjawab bahwa memang saya sudah tua namun saya bukan bekas hippy, saya masih seorang hippy," tuturnya.


Tubuh John Butt memang gampang dilihat. Tinggi badannya 1,9 meter, janggut putih panjang dan kulitnya putih.


Ketika orang-orang memanggil saya, bekas hippy tua, saya selalu menjawab bahwa memang saya sudah tua namun saya bukan bekas hippy, saya masih seorang hippy


John Mohammed Butt


Dia bercerita mengagumi Al Quran namun Stilton masih jadi keju favoritnya dan sepakbola masih dicintainya.


Bagi John, rumahnya adalah desa kecil di lembah Swatt, Pakistan.


Swatt pernah populer menjadi tujuan wisatawan namun sekarang menjadi ajang bentrokan militer Pakistan dan Taliban.


Namun tahun 1969, John muda tertambat beberapa saat di Swat yang dilukiskan sebagai pegunungan berlapis es, sungai mengalir seperti intan berlian, hutan dan padang rumput yang luas.


Daerah itu, katanya, "seperti dunia magis dan aneh Tolkien" yang dihuni suku tradisional yang "sangat menyenangkan, berlapang dada, toleran, santai dan ramah".


Tolkien yang dia maksud adalah penulis trilogi fantasi The Lord of Rings yang juga diangkat menjadi film populer.


Ketika rekan-rekannya sesama hippy tumbuh dewasa dan pulang ke kampung halamannya menjadi akuntan dan pengacara, John tetap tinggal sehingga lancar berbahasa Pashtun dan belajar Islam.


Namun dunia John berubah akhir tahun 1980-an ketika kaum jihadis datang ke perbatasan dari seluruh dunia untuk untuk melawan Rusia di Afghanistan.


"Saya menyaksikan cara-cara hidup religius Pashtun tercemar dan teracuni khususnya oleh orang-orang Arab dari Timur Tengah," ceritanya.


"Cara mempraktekkan Islam sangat berbeda dengan suku tradisional namun mereka menggunakan uang dan pengaruh untuk memaksakan nilai-nilai mereka," lanjutnya. (Source : Hidayatullah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar