Abdullah Anas |
JAKARTA — Abdullah Anas, 19 tahun, lahir dan dibesarkan di Medan dalam keluarga Kristen Protestan. Ayahnya seorang pendeta, sehingga dari kecil ia tumbuh dalam keluarga agamis. Anas dan kedua kakaknya sangat rajin manjalankan ibadah ke gereja.
Gereja tempat ia beribadah membagi 2 waktu bagi jemaatnya dalam sehari, dan dalam sehari pula ia pergi ke sana. "Tujuan saya untuk dapat benar-benar mendapatkan ilmunya ” tutur anak ke 3 dari 4 bersaudara ini
Tapi, selain sangat taat dengan keyakinan Protestannya, ia rupanya juga tertarik dengan agama lain, yaitu Islam. “Sejak duduk di bangku SMP saya suka mengamati kegiatan teman-teman saya beragama Islam, saya tertarik dengan acara-acara yang ada, seperti hari raya kurban, Isra Mi’raj, bulan Ramadhan dan sebagainya” tutur nya
Dorongan besar untuk mengetahui Islam lebih dalam kian dirasakan Anas di bangku SMA. Hingga ia memutuskan mengikuti dua pelajaran agama, Kristen dan Islam sekaligus di sekolah.
“Memang dulu guru sempat tidak mengizinkan saya mengikuti dua mata pelajaran agama, tetapi setelah saya berbicara dengan guru agama Islam dan menceritakan ketertarikan itu, saya diperbolehkan mengikuti dua-duanya," tutur Anas.
Dengan mempelajari kedua agama itu pengetahuannya tentang Islam semakin luas dan hatinya mulai memiliki kecenderungan. Tapi Annas tidak ingin gegabah. Ia berpikir pula risiko ke depan.
“Saya tahu, keinginan saya untuk masuk Islam sangat besar. Tapi kalau saya nekad dan terburu-buru pindah agama ayah saya pasti sangat marah dan tidak menutup kemungkinan sekolah saya akan terlantar," ungkapnya.
“Jadi saya lebih memilih memendam keinginan itu sampai saya lulus sekolah dan benar-benar yakin dan sanggup menerima apapun yang akan terjadi nanti” lanjutnya. Meski menunda niat menjadi Muslim, Anas tak lantas menunda mencari pengetahuan tentang Islam.
Berpisah jalan dengan sang ayah
Ketika lulus SMA, Anas beserta ayahnya pindah sementara ke Jakarta, karena sang ayah akan menjalankan pelayanan di salah satu gereja di ibu kota. Anas yang sudah lulus SMA saat itu sudah terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Nasional di Jurusan Hukum.
Selama ayahnya sibuk dengan pelayanan digereja, Anas juga sibuk belajar tentang Islam lebih mendalam. Hingga akhirnya, tepat di bulan Agustus, 2010, Anas mendatangi Masjid Cut Meutia di kawasan Menteng untuk mengikrakan syahadat.
“Saat itu pulang kuliah, saya nekad datang ke masjid dan minta untuk di-Islamkan. Setelah bercerita panjang lebar kepada pengurus masjid, mereka bersedia mengislamkan saya," katanya. Anas mengaku, perasaannya kala itu itu bercampur aduk.
“Saya sadar, begitu ayah tahu, maka ia akan marah besar. Tapi bagaimanapun, saya harus menceritakan bahwa saya sudah menjadi muslim” lanjutnya.
Begitu memeluk Islam, Anas kembali kerumah. Ia menceritakan semuanya kepada ayahnya. Seperti yang telah ia duga ayahnya begitu murka dan tidak menerima keputusannya. Saat itu juga, Anas disuruh angkat kaki tanpa membawa barang-barangnya.
“Namanya juga pendeta, tidak sudi kalau anaknya berpindah Agama. Saat itu saya hanya menggunakan baju yang melekat di tubuh, sepatu dan tas. Handphone pun diminta oleh ayah”
“Kebetulan saya memegang dua handphone dan saya hanya mengembalikan satu pada ayah, dengan alasan yang satu lagi rusak dan sedang diperbaiki. Saya tau ponsel itu akan berguna bagi saya.” lanjutnya
Pergi meninggalkan rumah tanpa membawa apa-apa dirasa Anas sangat beresiko. Sebelum benar-benar pergi jauh Anas berhasil mengambil Ijazahnya diam-diam dengan pemikiran itu dapat menolongnya kelak.
"Saya tidak punya keluarga di Jakarta, seandainya adapun mereka tidak akan mau menampung saya. Jadi saya harus sanggup menjalani hari-hari sendirian” kenangnya.
Berhari-hari Anas melalui hidup tanpa kejelasan. Semua fasilitas telah ditarik kembali. Karena tak ada pasokan uang untuk biaya kuliah status Anas sebagai mahasiswa tak lagi melekat.
Kehidupan Keras
Untuk menyambung hidupnya ia menjual ponsel--yang semula ia beli seharga dua juta--dengan harga empat ratus ribu. Anas juga sempat bekerja menjadi seorang kuli panggul di Pasar Kramat Jati.
“Saya tidur di pinggir toko, tanpa alas dan selimut. Merasakan dinginnya angin malam, merasakan pedihnya hidup dijalan. Ini perjalanan hidup terbesar saya” tuturnya. Hidup berpindah-pindah ia alami. Bukan hanya sehari dua hari, melainkan sampai berbulan-bulan.
Lambat laun Anas merasa hidupnya kian tak terarah. Ia pun memutuskan mendatangi salah satu masjid besar, niatnya untuk memproleh pelajaran mengenai Islam lebih dalam. Namun sangat mengecewakan, jangankan mendapat ilmu, diperbolehkan masukpun tidak.
“Saat itu saya datang dengan keadaan seadanya, baju saya kotor dan keadaan saya sangat lusuh," kenang Anas. "Ketika akan memasuki pekarangan masjid, ada salah seorang bapak menggunakan kopiah mengatakan bahwa saya tidak boleh masuk masjid karena pakaian yang kotor”
“Saya mengatakan pada orang tersebut agar mau mengajarkan saya tentang Islam, tetapi ia menolak dan langsung pergi," katanya. Saat itu ia sangat kecewa dan putus asa. "Bagaimana tidak? Seorang muslim saja tidak mau membagi ilmunya untuk orang yang baru masuk Islam seperti saya ini.”
Mengaku putus asa, Anas memilih jalan pintas. Anas pergi ke Gereja dan bertemu pendeta. Ia menceritakan kisahnya, termasuk mengapa ia diusir dan mengaku menyesal. Pendeta itu dengan sangat antusias menawarkan segala kemudahan bagi Anas.
“Setelah mendengar cerita saya, pendeta itu menanyakan segala macam kebutuhan saya, bahkan ia akan memberikan segalanya agar saya mau kembali ke agama sebelumnya. Saat itu saya hanya bilang ingin makan, pendeta itu pun memberikan uang Rp 20.000 dan mengharapkan saya kembali ke gereja itu setelah makan," tutur Anas.
Menemukan 'Rumah'
Entah mengapa setelah mendapatkan uang, Anas malah berpikir pergi ke warung internet (warnet). "Di sana saya mencari tempat khusus menampung orang-orang yang baru menjadi seorang muslim seperti saya, dan saya menemukan alamat sebuah yayasan di daerah Jagakarsa”
Dengan tekad menggebu-gebu, Anas mendatangi tempat tersebut, dengan harapan bertemu orang-orang yang bisa membantunya. “Saat itu posisi saya di Kramat Jati, sedangkan posisi yayasan tersebut di Jagakarsa. Karena uang yang diberikan pendeta tersebut sudah terpakai untuk makan dan membayar warnet saya memutuskan untuk berjalan kaki. Butuh waktu dua hari bagi saya untuk menemukan alamat itu.”
Kini Anas sudah memiliki kelurga baru, di Yayasan Bina Insan Mualaf. Itulah tempat yang ia temukan di internet, di mana ia mengaku merasakan indahnya Islam, indahnya berbagi dan keakraban.
“Memang terdengar aneh, ayah saya seorang pendeta, saya pun termasuk orang yang aktif dalam kegiatan agama saya sebelumnya," ujarnya mengenang kisahnya. Tapi ia menganggap itulah hidayah Allah. "Mungkin karena saya yang benar-benar memahami kitab saya dulu, sehingga membuat saya mencari kitab suci yang sesungguhnya, mencari agama yang benar dan saya temukan itu dalam Islam. Hanya orang-orang cerdaslah yang mengetahui kebenaran ajaran Agama Islam."
Kini Anas mengaku dibina oleh orang-orang yang kompeten dibidangnya. Ia belajar bacaan shalat dan juga belajar mengaji. Saat ini ia sedang mempelajari surat-surat pendek, yang menurutnya agak sulit, tetapi ia mengaku terus berusaha.
“Kalau boleh dibilang, Islam itu bagi saya hanya dua kata, lengkap dan sempurna. Komplit semua ajarannya dan semua diajarkan dalam Islam karena itu ini agama yang sempurna.” ujarnya.
Anas berharap semua muslim dimanapun dapat lebih memperhatikan Mualaf seperti dirinya. Ia menanggap dirinya masih sangat membutuhkan bimbingan dan arahan agar dapat menjadi seorang muslim yang sesungguhnya.
(Sumber : Republika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar