Masuk dan bergabungnya Turki ke Uni Eropa berpeluang besar untuk semakin mengukuhkan hubungan dunia Eropa (Barat) dan Islam, menguatkan iklim dialog antara dua entitas tersebut, sekaligus mendorong peneguhan Islam, modernisme, dan demokrasi.
Hal tersebut dinyatakan Menteri Negara Turki untuk Urusan Uni Eropa Egemen Bagis pada Rabu lalu di Paris.
"Bergabungnya Turki ke Uni Eropa juga bisa menjadi jawaban atas pertanyaan yang banyak berkembang di Eropa terkait bisa berpadunya Islam dengan reformasi, kemodernan, dan juga sistem demokrasi. Dalam hal tersebut, Turki adalah contoh yang nyata," tutur Bagis sebagaimana dilansir kantor berita Turki Dunyabulteni (7/4).
Dalam dua dekade terakhir, bergabungnya Turki ke Uni Eropa menjadi salah satu pembahasan terbesar kedua belah pihak, baik Turki atau pun Uni Eropa. Pihak Turki aktif melakukan reformasi dalam berbagai bidang, utamanya sistem pemerintahan, sosial, infrastruktur dan ekonomi, sebagai pra-syarat bergabungnya negara pewaris imperium Ottoman itu ke Uni Eropa.
Namun, di satu pihak yang lain, Uni Eropa terkesan "mengulur-ulur waktu" untuk menyepakati penggabungan tersebut. Saat ini, setidaknya ada dua negara terbesar di Uni Eropa yang tetap "keukeuh" menolak bergabungnya Turki ke Uni Eropa, yaitu Prancis dan Jerman.
Bagis dan beberapa pejabat tinggi Turki untuk urusan Uni Eropa lainnya mempertanyakan sebab dan alasan yang jelas (bukan alasan yang abu-abu) atas penguluran tersebut. Dikatakannya, pihak yang menolak penggabungan tersebut selalu mengatakan jika Turki adalah negara yang "sangat miskin, sangat besar, dan sangat Islam".
Ditegaskan Bagis, alasan pertama yang mengasumsikan jika Turki sebagai negara yang "sangat miskin" sangat mudah dipatahkan. Pertumbuhan ekonomi Turki yang melaju pesat dan suksesnya reformasi ekonomi di Turki mematahkan asumsi tersebut.
Sementara itu, Turki sebagai negara yang memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar (sekitar 70 juta jiwa) seharusnya tidak dipandang sebagai penghambat, tetapi sebagai potensi. Jerman dan Prancis pun negara yang memiliki wilayah yang besar dan luas, dan berpenduduk hampir sama banyaknya.
"Kami tidak pernah menafikan jika kami adalah Muslim. Ya, Turki adalah negara Muslim," tegas Bagis. Tetapi, lanjut Bagis, Islam sendiri adalah fenomena yang tak bisa dibantahkan dan dipisahkan dari Uni Eropa sendiri. Hingga saat ini, 10 persen dari penduduk Uni Eropa adalah muslim. Tentu saja, prosentase tersebut bukanlah jumlah yang sedikit.
Ditambahkan oleh Bagis, Islam di Turki bukanlah Islam teroris yang mengancam sebagaimana Islam-nya Ben Laden. Tetapi, Islam di Turki adalah Islam yang modern, terbuka, reformis, dan berkeadaban.
Sumber : Eramuslim
Hal tersebut dinyatakan Menteri Negara Turki untuk Urusan Uni Eropa Egemen Bagis pada Rabu lalu di Paris.
"Bergabungnya Turki ke Uni Eropa juga bisa menjadi jawaban atas pertanyaan yang banyak berkembang di Eropa terkait bisa berpadunya Islam dengan reformasi, kemodernan, dan juga sistem demokrasi. Dalam hal tersebut, Turki adalah contoh yang nyata," tutur Bagis sebagaimana dilansir kantor berita Turki Dunyabulteni (7/4).
Dalam dua dekade terakhir, bergabungnya Turki ke Uni Eropa menjadi salah satu pembahasan terbesar kedua belah pihak, baik Turki atau pun Uni Eropa. Pihak Turki aktif melakukan reformasi dalam berbagai bidang, utamanya sistem pemerintahan, sosial, infrastruktur dan ekonomi, sebagai pra-syarat bergabungnya negara pewaris imperium Ottoman itu ke Uni Eropa.
Namun, di satu pihak yang lain, Uni Eropa terkesan "mengulur-ulur waktu" untuk menyepakati penggabungan tersebut. Saat ini, setidaknya ada dua negara terbesar di Uni Eropa yang tetap "keukeuh" menolak bergabungnya Turki ke Uni Eropa, yaitu Prancis dan Jerman.
Bagis dan beberapa pejabat tinggi Turki untuk urusan Uni Eropa lainnya mempertanyakan sebab dan alasan yang jelas (bukan alasan yang abu-abu) atas penguluran tersebut. Dikatakannya, pihak yang menolak penggabungan tersebut selalu mengatakan jika Turki adalah negara yang "sangat miskin, sangat besar, dan sangat Islam".
Ditegaskan Bagis, alasan pertama yang mengasumsikan jika Turki sebagai negara yang "sangat miskin" sangat mudah dipatahkan. Pertumbuhan ekonomi Turki yang melaju pesat dan suksesnya reformasi ekonomi di Turki mematahkan asumsi tersebut.
Sementara itu, Turki sebagai negara yang memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar (sekitar 70 juta jiwa) seharusnya tidak dipandang sebagai penghambat, tetapi sebagai potensi. Jerman dan Prancis pun negara yang memiliki wilayah yang besar dan luas, dan berpenduduk hampir sama banyaknya.
"Kami tidak pernah menafikan jika kami adalah Muslim. Ya, Turki adalah negara Muslim," tegas Bagis. Tetapi, lanjut Bagis, Islam sendiri adalah fenomena yang tak bisa dibantahkan dan dipisahkan dari Uni Eropa sendiri. Hingga saat ini, 10 persen dari penduduk Uni Eropa adalah muslim. Tentu saja, prosentase tersebut bukanlah jumlah yang sedikit.
Ditambahkan oleh Bagis, Islam di Turki bukanlah Islam teroris yang mengancam sebagaimana Islam-nya Ben Laden. Tetapi, Islam di Turki adalah Islam yang modern, terbuka, reformis, dan berkeadaban.
Sumber : Eramuslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar